Tuesday, July 14, 2009

Lieber Rene - Fiksi - Versi Asli

Lieber René

By: Runi S

San Diego, 7 Juni 2005


Pagi ini San Diego tampak cerah. Seharusnya memang menjadi hari yang indah, kalau saja aku tidak membalikkan tubuhku dan menatap langsung kearah kalender bergambar gunung Fuji pemberian Thea.

Bukan Gunung Fuji-nya yang membuat hari yang seharusnya indah ini menjadi sedikit bermasalah. Terganggu ketika hati ini berdebar keras, dan pikiranku menerawang kembali ke dua tahun silam. Ku sentuh hatiku dan merasakan ada sakit yang menyelinap masuk menerobos kulit, dan kini menggerogoti hatiku sedikit demi sedikit.

Ah…….. tanggal itu, hari ini, tepat ketika aku mulai belajar yakin pada sebuah hati..


*****


Hamburg, 7 Juni 2003

Sungguh deh, mau apa sebenarnya sih cewek ini?, tadi di telepon bilangnya cuma mau titip CD untuk Janick, tetapi sudah satu jam berlalu dia masih saja duduk di depanku sambil sibuk mengisi teka-teki silang berbahasa Jerman.

Come on..!!, aku kan ada kelas Professor Bergmair lima belas menit lagi. Kalau harus menunggu gadis ini pulang, tidak diragukan lagi hari ini aku pasti absen. Mau usir dia, masa iya aku tega?.....

Aku beranjak ke kamar mandi, dan setelah membasahi rambut cokelatku dan mengacak-acaknya sedikit, sebelum aku sadar kelakuan itu tampak bodoh. Kemudian kutatap wajahku di cermin.

Memang bodoh……….

Aku menggelengkan kepala dan tersenyum, memakai kacamataku dan bergegas keluar dari kamar mandi. Kusambar tas selempang hitamku dan melangkah melewati sang gadis yang sibuk dengan kegiatannya.

“Aku ada kelas” kataku tiba-tiba sambil memakai sepatuku. “Terserah kalau kau masih mau tetap disini”.

Ia menoleh ke arahku yang kini telah berdiri dan bersiap-siap membuka pintu dan berjalan keluar.

“Hey tunggu….!!” Teriaknya. Ia tampak serabutan membereskan buku-bukunya dan berlari ke arahku. Kami berjalan cepat berdampingan.

“Kau punya tiket bus?” tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. Aku merasa ia menatapku sambil terus berusaha berjalan di sampingku.

“Tidak.”

Great..!!. Dia tidak punya tiket bus, dan aku positif terancam ceramah ketidakdisiplinan Mahasiswa-nya Prof. Bergmair. Aku berhenti dan menatapnya.

“Kau mau kemana sekarang?”

“Down Town…..” sahutnya pelan. “Kampus kamu juga disana kan?”

“Ya..” aku bergumam pelan. “Oh.. baiklah. Kita jalan cepat.!” Gerutuku.

Aku berjalan cepat, menerka-nerka bagaimana raut wajah Prof. Bergmair ketika aku masuk ke dalam kelasnya dan mengucapkan “Gutten Tag” setelah telat satu jam.

Aku lupa gadis itu………….

Dia terengah-engah di sebelahku dan batuk-batuk, sambil menyentuh dadanya yang naik turun karena terlalu cepat berjalan.

“Aku…...” Katanya terengah-engah. “Aku tidak bisa berjalan terlalu cepat” ia kemudian batuk-batuk lagi.

Aku menyerah…..

Aku menghela nafas sangat panjang, dan kemudian memperlambat langkahku, sambil mengatur kata-kata alasan terlambat untuk Prof. Bergmair nanti. Ketika ia menggandeng tanganku tiba-tiba dan tersenyum sangat manis sekali, aku menatap wajahnya.

Aku yakin wajahku mirip seorang anak berumur 20 tahun yang baru saja mendapat kabar kalau dia itu sebenarnya keluar dari telur.

Tapi dia tampak terpesona……..

Dan aku tampak bodoh…..

“Aku ingin kita bertemu lagi setelah kelasmu selesai” katanya manis. Aku terpana, tersenyum ke arahnya dan menggelengkan kepalaku.

“Aku tidak tahu kapan kelasku selesai hari ini”

“Akan kutunggu” sahutnya mantap. Aku terpana lagi. Kutatap lagi wajah cantik itu, dan matanya yang gelap. Ah…. aku terlalu lemah untuk membiarkannya menunggu.

“Baiklah…..” Kataku akhirnya. “Jam 4 di depan Rathaus.


*****

Nama gadis itu Nina. Seorang gadis Indonesia yang sedang studi dua semester di Fakultas Ekonomi Universität Hamburg. Bulan itu adalah bulan terakhirnya di Jerman.

Dan kami jatuh cinta…………..

“How come..?!!!” teriakku shock di telepon ketika suara Nina bergetar di telingaku dan memberitahuku bahwa penerbangannya ke Jakarta dipercepat.

“Aku tidak tahu” sahut Nina. “Kabar itu baru saja aku terima” ia terisak sedih. Aku terdiam. Damn it..!! Haruskah secepat ini?.....

Masih segar dalam ingatanku ketika ia duduk di kursi kayu di apartemenku sambil mengisi teka teki silang berbahasa Jerman. Dan waktu itu aku mengharapkannya segera pergi.

Oh…..Aku menyumpahi hari itu……

Satu jam kemudian aku mendapati diriku aku termenung di atas bangku kayu di depan Rathaus Hamburg yang megah. Atapnya yang berwarna hijau tampak menyatu dengan gaya Renaissance utara-nya. Meskipun aku bukan merupakan penduduk asli Hamburg, aku cinta kota ini.

Aku bersandar pada sandaran bangku kayu yang kududuki, kutengadahkan kepalaku ke atas dan membiarkan matahari menatap tajam ke arahku.

Sommer in Hamburg…………..

Kubetulkan letak sungalasses hitamku dan menarik nafas panjang, kurasakan perlahan sengatan matahari membakar kulitku yang pucat. Semilir angin menerpa, menggoyangkan helai-helai rambutku. Aku menatap lurus ke depan, sosok seorang gadis tinggi semampai menarik perhatianku. Kulepas kacamata hitamku dan kutegakkan tubuhku, mataku tak lepas dari sosok gadis yang kini berjalan menuju ke arahku.

Nina……….

Manusia indah berkulit coklat keemasan yang membuatku iri. Karena ia tidak perlu berjam-jam mandi sinar matahari, atau berbulan-bulan ikut terapi di studio matahari untuk mendapatkan warna kulit seindah itu. Rambut hitam panjangnya yang bukan hasil cat salon membuat rambut yang bertengger di atas kepalaku ini terlihat seperti jerami, dan matanya yang gelap itu..Oh…. bagaimana mata itu bisa terlihat dalam sekali?.

Aku pasti tampak seperti orang-orangan sawah selama berjalan disampingnya. Pasti deh…

Ia tersenyum manis sekali……..

Aku menjatuhkan kacamata ku…….

Aku yakin Nina tidak belajar Telekinesis kilat untuk menjatuhkan kacamataku dari jarak dua meter. Aku-nya saja yang punya kelakukan bodoh…...

“Sudah lama, René?” tanyanya lembut. Angin menyentuh rambutnya dan membelai wajahnya. Kalau boleh memilih, aku tidak akan menjawab pertanyaannya melainkan hanya duduk menatap keberadaan dirinya.

“Baru beberapa menit” sahutku pelan.

“Oh.” Nina mengangguk. Aku sudah tidak tahan, aku menginginkannya selalu ada disampingku. Ku genggam jari-jarinya dan aku menatap ke dalam matanya.

“Universitasku di Indonesia mengubah jadwal kepulanganku menjadi lebih awal” katanya tiba-tiba dengan lirih “Dan ini diluar dugaanku…”.

Aku memalingkan wajahku darinya. Hatiku seperti habis dihantam beton yang ditempeli paku-paku tajam.

“Kenapa begini…?” ucapku pelan.

“René….”
“Kau telah membuatku mencintaimu..”

“Aku…..”

“Tapi kau akan meningalkanku..”

“Well.. aku..”

“Bagaimana kau bisa mencintaiku untuk meninggalkanku?!” teriakku. Nina terperangah kaget. Aku melepaskan genggamanku dan menatap ke depan.

“Kapan kita bisa saling melihat lagi?” aku menyentuh tangannya. Ia mengangkat kepalanya dan menghapus air matanya.

“Aku akan kembali ke Hamburg, sekitar tiga tahun lagi” katanya terbata-bata. Great.!!, tiga tahun lagi aku mungkin sudah dipenuhi jamur, lumut dan ganggang dari berbagai jenis. Aku tersenyum ke arahnya.

“Kau akan berubah..”

“Apa maksudmu?” ia mengangkat kepalanya dan menatapku bingung.

“Waktu bisa merubah seseorang, Nina.” Aku menjelaskan dengan sangat lirih. Ia mengeleng dan tanpa kusadari ia sudah menyentuhkan jemarinya ke dadaku. Dan ia melafalkan kalimat yang takkan pernah kulupakan seumur hidupku.

“Don’t change your heart…...”

She is love of my life…...

Dan aku mengutuk kebodohanku karena menemukan dirinya justru sebulan sebelum ia kembali ke negaranya. Padahal ia sudah berada di Jerman selama 10 bulan. Kemana saja diriku ini..??!!.

Well…. Sie fand mich…..

Nina menunjukkanku dunia diluar kuliah dan kerutinan sehari-hari. Menunjukkan indahnya dunia disekelilingku. Semenjak Nina hadir, aku menjadi lebih peka, lebih sensitif, lebih memperhatikan dan menyadari kalau ternyata duduk di tepi pelabuhan sambil melihat warna jingga langit di balik Rickmer Rickmers yang megah itu bisa membuatku tersenyum tanpa sadar karena perasaan bahagia yang tanpa sengaja menyusup ke dalam hatiku.

Dan aku mulai menyadari kalau Speicherstadt bisa begitu menakjubkan ketika aku dan Nina menyusuri jalan-jalannya diiringi Elbe yang mengalir damai. Kemudian St. Michaelis, gereja tua yang dibangun sekitar tahun 1750-62 oleh Ernst Georg Sonnin itu ternyata mempunyai struktur bangunan yang sangat mengagumkan.

Oh René…kemana saja kau ini..?

Tetapi Nina akan pergi. Aku tidak mau mengantarnya ke Airport karena aku takut untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku memang pengecut….

Aku dan Nina berbicara selama satu jam di telepon ketika ia tiba di Frankurt Flughafen. Membicarakan media-media apa saja yang kira-kira bisa membantu aku dan Nina untuk tetap saling berhubungan.

“Kita masih punya email..” kataku cepat.

“Ya.. dan SMS”

“Ok, juga surat…”

“Internet, chatting dan Web Cam..”

“Great..!”

“Jangan sampai lost contact”

“Tentu saja, dan Nina….. kita masih punya telepon” aku menggigit bibirku.

“I love you René..” suara Nina terdengar lembut di seberang sana.

Aku tersenyum sedih menatap Wireless phone di genggamanku.

“Ich liebe dich auch Nina…..”

“René…”

“Ya…”

“Don’t change your heart..”

“I won’t.. I won’t….”

Aku menemukan diriku terduduk di atas tempat tidur di kamar apartemenku. Diam dan tidak kepas menatap wireless phone di dalam gengamanku. Ketika Nina dan pesawat Malaysia Airlines yang membawanya terbang ke Jakarta lepas landas meninggalkan daratan Jerman, itulah pertama kalinya aku menitikkan air mata untuk seorang gadis.


***


Tiga bulan semenjak kepulangan Nina ke Indonesia semua baik-baik saja. Tetapi pada suatu hari email Nina berhenti, nomor Hpnya sudah tidak aktif lagi. Aku tidak tahu nomor telepon rumahnya, karena aku biasa menelepon ke Hp Nina. Bahkan aku menggampangkan segala hal dengan tidak pernah menanyakan alamat rumah Nina di Indonesia.

Nina tidak pernah lagi membalas emailku……….

Kini aku tahu sudah,……Nina mungkin mulai menyadari kebodohan masa lalunya dengan pernah mencintaiku. Mungkin saat ini ia sudah menemukan cowok Indonesia berkulit coklat tampan yang tidak membosankan seperti diriku.

Pikiran-pikiran negatif berkecamuk di dalam pikiranku. Aku gagal dalam ujian-ujianku. Bodohnya…… hanya karena seorang gadis……

Aku harus melupakan Nina……

“Bagaimana dia bisa memintaku untuk tidak merubah hatiku sementara dia sendiri semudah itu melupakan diriku..??!!. Benar-benar keterlaluan….

Saat ini juga aku akan merubah hatiku………

Aku benci Nina…


*****

San Diego, 7 Juni 2005

Aku meraih spidol merah dan melingkari angka tujuh. Rutinitas ku setiap bulan, menandai hari ini. Dua bulan lagi sidang kelulusanku dari Fakultas Hukum San Diego State University. Program beasiswa yang kudapat untuk studi di San Diego, Amerika Serikat ini sungguh membantuku untuk melupakan masa lalu dan menghindari kenangan-kenangan-ku bersama Nina.

Dan sungguh keterlaluan, sudah dua tahun berlalu tetapi Nina tetap tidak berusaha untuk menghubungiku. Aku benar-benar tidak mau mengenal dirinya lagi…………

Tanpa sadar aku menggeleng dan merobek lembaran kalender bulan Juni. Cukup sudah.!! bulan ini akan menjadi bulan terakhir untuk rutinitas penandaan tanggal tujuhku. Aku harus melupakan cewek sialan itu…!!!

Aku meremas lembaran kalender dan melemparnya ke tempat sampah, ketika tiba-tiba pintu apartemenku diketuk oleh seseorang. Aku beranjak menuju pintu dan membukanya. Seorang gadis berambut pirang pendek sedang tersenyum manis di depanku. Itu Jessica….

“Hai, keluar yuk” ajaknya ceria. “Ada waktu tidak?”.

Aku tersenyum. Kemudian aku menoleh ke belakang menatap remasan kertas kalender di tempat sampah, kemudian kutatap Jessica dan aku mengangguk ke arahnya. “Boleh.”

Sepertinya hari ini aku mendapat teman kencan baru. Well…. Jessica mungkin hanya untuk hari ini. Entahlah…, setelah Nina, aku punya banyak teman cewek dan jangan harap aku mau sakit hati lagi. Dan aku tetap membenci Nina, dan bahkan mungkin untuk seumur hidupku.


*****


Jakarta, 7 Juni 2005

Sebuah KIA berwarna hijau lumut, meluncur menyusuri daerah kalibata dan berhenti di sebuah tempat pemakaman umum yang besar. Seorang ibu setengah baya bergaun hitam turun dari mobil diikuti dua perempuan kembar, dengan kisaran umur lima belas tahun. Mereka berjalan menyusuri daerah pemakaman.

Mereka akhirnya tiba di sebuah nisan. Si ibu membersihkan rumput-rumput dan ilalang yang tumbuh liar di atas pusara Nina. Kedua anak kembarnya membantu sang ibu. Kemudian mereka berdoa bersama dengan khusyu disamping pusara tersebut.


Nina Astridia
binti Lukman
Lahir 7 Juni 1985
Wafat 8 Februari 2004

The End


..This story dedicated to René Leonhardt
“I never change my heart…”

Saturday, August 30, 2008

Tora The Tiger (of Alice Nine)


I have a long list of Bishounen on my head, and my first choice is Tora, a guitarist of Japanese Rock Band, Alice Nine. I don’t rate him as the prettiest boy in the world, NO, I don’t. It’s because he’s my favorite right now ^.~

There are so many things that I love bout Tora. You can see how gorgeous Tora is when his long fingers running between strings. Talk bout guitar, I noticed his favorite brand is Fernandes. Of all the guitars he has, my favorite is Fernandes Ravelle, the one he used on White Prayer PV. He’s look damn hot on that PV, isn’t he? Well, honestly, the first time I watched the PV, I gaped like oh-my-God-Tora-you-must-be-kidding!! But then I watched the PV again and I realized that, even though with half blond-half black hair and glasses, he’s still gorgeous.

Tora’s real name is Amano Shinji. I don’t know why he choosed ‘Tora’ as stage name, does any one know? Mind to tell me by drop comment? Anyway, Tora means Tiger. He did draw a cute tiger on his amp ^.^

More about Tora;
· Birthday; September, 17th 1980
· Color; White and Black
· Cigarette; Salem Pianissimo
· Perfume; his own mix of Ferragamo and Bvlgari. (He said the scent is bitter-sweet)
· Instrument; Guitar, Bass (first instrument he learn), Drum (Nao wrote on his journal that Tora plays with his drum some times)
· Previous Band; Arakune, Karasu, Givuss (with Shou, Alice Nine’s Vocalist, and Tsunehito, D’s bassist)
· Tattoo; a small heartagram on his index finger, right hand!!!
· Piercings; ? (Two on bottom lips, ???)
· Been a friend with Shou since two years before Alice Nine is exist.
· Nao said that Tora is kinda stubborn about the sound's distortion.
· Never read novel. Actually, Tora doesn’t read book. He prefer manga which less text.
· For him, cat is kinda boring. He likes ferocious animal.